Studi Kasus: Pengembangan Klaster Industri Perkapalan di Lamongan
Indonesia
sebagai negara kepulauan dengan 70 persen lautan, peran sarana transportasi
laut menjadi sangat penting untuk menjamin konektivitas dan distribusi logistik
nasional. Arus
dan volume perdagangan antar pulau dan ekspor impor yang semakin meningkat,
maka diperlukan
armada kapal yang memadai, yang
didukung industri galangan kapal sebagai sarana pembangunan dan
pemeliharaan/perbaikan kapal yang mandiri
dan berdaya saing
di dalam negeri. Pengembangan industri galangan kapal di dalam negeri juga
diperlukan untuk menekan belanja devisa, menciptakan lapangan kerja yang luas,
memajukan industri komponen lokal dan sektor-sektor usaha terkait, dan bahkan
berpotensi menjadi penghasil devisa bagi negara.
Salah satu kunci keberhasilan dan
tingginya tingkat produktivitas industri kapal di negara-negara maju adalah
pengembangan klaster industri dan pola sinerji yang efektif. Sedangkan pengembangan galangan-galangan kapal di Indonesia masih dilakukan secara parsial, belum terintegrasi dan belum
tercipta pola sinergi yang terencana di antara para pelaku usaha galangan dan industri-industri penunjangnya. Selain
itu, pengadaan kapal-kapal negara dan BUMN terkait juga belum diintegrasikan dengan
pengembangan industri galangan kapal nasional. Peran pemerintah dalam pembinaan
dan kebijakan teknis maupun finansial belum sepenuhnya berpihak pada upaya pengembangan industri ini. Akibatnya, pengadaan armada
nasional belum mampu meningkatkan produktifitas dan daya saing industri perkapalan
secara nasional.
Pemikiran strategis tentang
pengembangan industri perkapalan nasional yang diletakkan dalam kerangka
pengembangan klaster industri kapal secara terpadu dalam sebuah kawasan atau
wilayah sangat
diperlukan, sehingga
secara bertahap
dapat meningkatkan produktifitas dan
daya saing industri kapal nasional, dengan skala ekonomi yang semakin membaik. Pengembangan industri
perkapalan tersebut dilengkapi dengan industri penunjang berupa dukungan perusahaan
logistik, kebutuhan material dan komponen kapal, infrastruktur industri serta
fasilitas penunjang lainnya, yang saling terintegrasi dalam pola sinergi bisnis
yang efektif.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, salah satu program dalam Renstra
BPPT tahun 2016-2019 adalah pengembangan
klaster industri perkapalan di Lamongan. Pemilihan Surabaya dan sekitarnya didasari
berbagai pertimbangan antara lain: keberadaan PT PAL Indonesia dan beberapa
galangan kapal menengah, sejumlah industri pendukung dan sumberdaya-sumberdaya
kemaritiman berlokasi di wilayah ini, seperti Laboratorium Hidrodinamika BPPT,
ITS, Poltek Perkapalan, dan beberapa perguruan tinggi terkait Painnya, lembaga-lembaga
pelatihan, dan lain-lain. Pertimbangan lainnya, banyak perusahaan galangan
kapal potensial di wilayah ini, sulit lagi dikembangkan khususnya di Nilam
Surabaya dimana lokasinya direncanakan menjadi perluasan pelabuhan.
Walaupun terdapat beberapa kendala/keterbatasan, wilayah Paciran
Lamongan dipilih dengan beberapa pertimbangan. Selain Pemda setempat sudah
menetapkan wilayah ini sebagai kawasan industri perkapalan dan sudah ada
perencanaan awal oleh Kementerian Perindustrian, terdapat beberapa galangan
kapal menengah, keberadaan Lamongan Shore Base dan rencana pengembangan
pelabuhan, serta ketersediaan tenaga kerja yang cukup memadai.
Sesuai Renstra BPPT 2015-2019, kajian pendahuluan sudah
dilakukan tahun 2015, yang dilanjutkan dengan kordinasi dengan pihak-pihak
terkait, kajian akademik, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis, survei,
dan perencanaan Master Plan Awal pada
tahun 2017. Kegiatan ini berada di bawah Pusat
Teknologi Rekayasa Industri Maritim (PTRIM) BPPT yang
dibentuk sejak tahun 2016, dengan nama program Inovasi
Teknologi Industri Perkapalan, pada sub-kegiatan Revitalisasi Industri
Perkapalan, dengan kegiatan klasterisasi
industri perkapalan di Surabaya dan sekitarnya. Kegiatan ini dilakukan berdasarkan MoU
antara BPPT dengan Pemkab
Lamongan, yang secara khusus dibuat dalam bentuk
Perjanjian Kerjasama (PKS) Tahun
2017.
Pada tahun 2018, PTRIM
BPPT meneruskan Master Plan Awal yang telah
dihasilkan pada tahun 2017, yang lebih difokuskan pada
survei tambahan dan penyempurnaan Master Plan yang telah dibuat sebelumnya.
Master Plan ini masih bersifat konseptual, karena masih ada kendala kepastian
lahan dan belum terbentunya Badan Pengelola Kawasan, sesuai persyaratan Kemenperin.
Dari hasil FGD terbatas pada tgl 6 Nop 2018 di Surabaya, yg menghadirkan
narasumber dari kalangan akademisi/peneliti, praktisi industri,
pemerintahan, dan asosiasi terkait, direkomendasikan membentuk forum komunikasi para pengusaha terkait yang sudah ada (sesuai kesepakatan pada Rakor di Pemkab Lamongan tahun 2017), membentuk klaster terbatas pada perusahaan-perusahaan yang sudah ada sebagai pengungkit tumbuhnya daya tarik bagi pengusaha-pengusaha terkait lainnya, dan kordinasi pihak Pemkab Lamongan dengan Pemprov Jatim, serta kebijakan Pemerintah Pusat untuk mendorong terbentuknya klaster industri yang dimaksud.